TRADISI KONSERVASI HUTAN ALA MASYARAKAT KASEPUHAN

Pengelolaan kawasan hutan memiliki berbagai pola dan bentuk. Cara pengelolaan yang unik dan menarik adalah cara pengelolaan yang dilakukan secara tradisi lokal. Pola pengelolaan yang khas serta mengedepankan kelestarian telah dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat adat yang ada di Indonesia. Salah satu contohnya tertuang dalam penelitian dengan judul “Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak” yang dilakukan oleh Sandra Turmudi Wijaya dengan pembimbing Kristiani Fajar Wianti, S.Hut., M.Si. Penelitian tersebut menunjukan tata kelola kawasan hutan adat yang mengedepankan prinsip konservasi dengan nilai-nilai tradisi didalamnya. Penelitian tersebut dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan metode Etnografi. Peneliti mengambil waktu cukup panjang untuk hidup bersama masyarakat dan mendapatkan sudut pandang penduduk asli guna menguraikan tradisi konservasi hutan di masyarakat Adat Kasepuhan. Berikut beberapa hal menarik didalamnya:

Prinsip Konservasi dalam Nilai Tradisi

Kasepuhan melihat alam terbagi menjadi Jagat Leutik (alam sanubari) serta Jagat Gede (seluruh yang ada diluar sanubari manusia). Jagat Gede tersebut meliputi Ibu Bumi, Bapak Langit, beserta segala makhluk yang ada didalamnya. Makhluk dibagi menjadi 3, yaitu : pertama adalah makhluk cicing (makhluk diam) meliputi batu, tanah, tumbuhan, air dsb. Kedua yaitu makhluk nyaring (makhluk berbunyi) meliputi hewan kecil maupun besar. Ketiga adalah makhluk Eling (makhluk berakal) yang merupakan manusia. Bersatunya ketiga makhluk tersebut terangkum dalam konsep “Leuweung, Lawang, Lewung” yang artinya hutan sebagai rumah. Lawang memiliki arti pintu yang bermakna akses penghubung. Lewung memiliki arti bersatu yang bermakna bahwa tiga makhluk yang ada di muka bumi memiliki keterkaitan. Bentuk nyata dari konsep tersebut anatara lain, pemberian julukan kepada satwa tertentu (contoh: Kisilah merupakan julukan untuk macan atau harimau yang berarti sahabat dekat), larangan merusak mata air, dilarang menambang bumi, berbagi tempat makan (jika sudah panen maka manusia tidak boleh mengambil sisa hasil panen yang tumbuh alami di ladang karena itu merupakan jatah bagi hama), serta berbagai bentuk kearifan lainya. Dengan demikian etika konservasi menurut tradisi tersebut memiliki kemiripan dengan aliran etika kontemporer atau lahan ekologi evolusi Aldo Leopold (1886-1948) yang menempatkan manusia dan alam sebagai suatu kesatuan. Pandangan tradisi terhadap alam dan etika kontemporer sama-sama mengharuskan manusia bisa menjaga keseimbangan sistem alam dengan menghindari diri dari sifat serakah yang beresiko merusak hubungan antar makhluk.

 

Tata Ruang Kawasan Hutan Adat

Kawasan yang diakui sebagai hutan adat kasepuhan berada di sekitar gunung Halimun yang merupakan bagian Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Secara tradisi kasepuhan juga memiliki pengkatagorian wilayah yang disebut wewengkon, sistem tersebut semacam zonasi pada sistem Kelola Taman Nasional. Kawasan tersebut dibagi menjadi 4 bagian, yaitu :
a. Leuweung tutupan disebut juga sebagai leuweung kolot yang berarti hutan tua. Bagian leuweung ini menjadi kawasan perlindungan yang sangat disakralkan atau keramat bagi masyarakat kasepuhan. Jenis hutan ini merupakan hutan alam yang masih perawan. Fungsinya sama dengan zona inti pada sistem zonasi Taman Nasional.
b. Leuweung titipan merupakan jenis hutan keramat yang hanya boleh dimasuki dan dimanfaatkan secara terbatas dengan ijin dari tutunggul (kepala adat). Kawasan ini menerapkan fungsi konservasi berupa pengawetan keanekaragamn hayati, perlindungan sistem penyangga kehidupan dengan penambahan berupa pemanfaatan terbatas.
c. Leuweung Garapan atau sampalan merupakan bagian hutan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Leuweung ini berupa hutan yang belum atau pernah digarap, huma, sawah dan pemukiman. Kegiatan budidaya yang menerapkan kearifan lokal dilakukan pada bagian kawasan ini.
d. Leuweung awisan merupakan hutan cadangan yang diperuntukan sebagai hutan yang akan dibuka jika suatu saat kasepuhan harus berpindah. Hal ini sejalan dengan cara hidup leluhur kasepuhan yang sering kali berpindah lokasi, sehingga dalam prosesnya juga disediakan suatu dataran cadangan.
Selain itu ruang juga diatur secara vertikal berdasarkan kedudukan ketinggian dan kemiringan. Hal tersebut tertuang dalam peribahasa “Gunung luhur kayuan (gunung atau tanah yang berada di tempat lebih tinggi difungsikan untuk tanaman berkayu atau hutan), lamping gawir awiyan, (tanah dengan kemiringan kurang lebih diatas 45 derajat ditanami dengan tanaman jenis bambu, pisang dan aren yang berakar serabut serta pohon albasiah. Pemilihan jenis ini bertujuan untuk mencegah longsor), legok balongan (kawasan yang cekung digunakan untuk kolam ikan), lebak sawahan (tanah dipetakkan sedemikian rupa untuk memberikan areal persawahan dengan fungsi optimal), datar imahan (tanah yang datar bisa digunakan untuk rumah atau pemukiman)”.

Pantangan dalam Pengambilan Sumberdaya Hutan

Kasepuhan mengenal beberapa pantangan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, antara lain sebagai berikut :

Masyarakat kasepuhan mewariskan ajaran dan kearifan lokal melalui pewarisan tutunggul, pendidikan sejak dalam rumah, membiasakan anak berinteraksi dengan alam, menurunkan ilmu khusus pada bulan maulud, menyimpan ajaran melalui peribahasa, lirik lagu, menceritakan mitos, mengingat sejarah leluhur melalui ngembang (ziarah makam) serta mengingatkan diri melalui simbol dan pakaian adat. Dengan demikian prinsip konservasi yang tersimpan dalam tradisi bisa terus terwariskan dan bisa menjadi suatu alternatif pengelolaan hutan di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published.