Siapa yang tak tahu gajah? Hewan bertubuh besar, berwarna abu-kehitaman, bertelinga lebar, dan memiliki belalai ini populasinya semakin menurun di seluruh dunia. Gajah Sumatera termasuk di dalamnya. Salah satu sub-spesies gajah di kawasan asia yang populasinya terus menerus menurun akibat perdagangan satwa liar, perburuan, hilangnya habitat alami, hingga munculnya konflik antara gajah dengan manusia.
Salah satu populasi Gajah Sumatera yang ada di Indonesia berada di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Di sekitar daerah tersebut banyak terdapat lahan perusahaan pemegang hak konsesi hutan tanaman industri (HTI), hak penguasaan hutan (HPH), dan lahan-lahan pertanian milik masyarakat, yang prosesnya tentu saja berdampak untuk hutan sebagai habitat alami dari gajah.
Upaya konservasi Gajah Sumatera di Lanskap Bukit Tiga Puluh terhambat dengan adanya konflik antara gajah dengan manusia. Konflik gajah dengan manusia muncul akibat adanya persaingan dalam memperebutkan sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhannya. Lahan pertanian sebagai hasil konversi habitat menjadi lanskap buatan manusia telah menyebabkan gajah melakukan serangan ke lahan tersebut. Kemudian, interaksi negatif muncul sebagai akibat rusaknya lahan pertanian oleh gajah, dan berujung pada upaya pembunuhan gajah secara ilegal sebagai kompensasi dari lahan pertanian yang dirusak oleh gajah.
Di daerah sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sudah diterapkan upaya preventif dan mitigatif untuk mengurangi konflik yang terjadi. Tapi dirasa, upaya tersebut belum efektif untuk meminimalisir interaksi negatif yang terjadi.
Oleh karena itu, masih diperlukan beberapa informasi lanjutan untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan formula yang tepat dan efektif untuk mengatasi konflik tersebut.
Lahan Pertanian Kesukaan Gajah
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wieko pada tahun 2017, mencoba untuk mengetahui pertimbangan Gajah Sumatera di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh dalam menentukan lahan pertanian yang akan dimasuki untuk memenuhi kebutuhannya. Hasilnya menunjukkan bahwa Gajah Sumatera yang ada di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh melakukan seleksi, dan memiliki preferensi tertentu dalam hal jenis dan umur tanaman, jarak lahan dari sumber air, jarak lahan dari semak atau hutan, serta metode penjagaan lahan yang diterapkan ketika memenuhi kebutuhannya dan masuk ke lahan pertanian masyarakat.
Karakteristik lahan pertanian yang rusak oleh keberadaan Gajah Sumatera di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh adalah lahan pertanian dengan jenis tanaman berupa kelapa sawit yang berumur 2 tahun atau dibawahnya, berjarak kurang dari 1271 meter dari sumber air, dan berjarak kurang dari 1101 meter dari semak atau hutan, serta lahan yang tidak dijaga atau lahan yang menerapkan metode penjagaan berupa metode penjagaan lahan konvensional, seperti api unggun, petasan, meriam karbit, dan meriam spirtus.
Informasi tersebut dapat dijadikan salah satu informasi dasar dalam menentukan pengelolaan yang tepat, sehingga dapat meminimalisir interaksi negatif yang muncul. Pengelolaan yang dimaksud harus memperhatikan pembagian ruang agar menekan persaingan yang ada antara gajah dan manusia. Ruang tersebut diidentifikasi dari kebutuhan, baik dari manusia maupun gajah, agar selanjutnya dapat diketahui pembagiannya.
Konsep Berbagi Ruang
Faktor pertama yang perlu diperhatikan adalah jarak dari sumber air, dan jarak dari semak atau hutan. Penghitungan jarak tersebut dibutuhkan untuk mengetahui daerah yang mengalami tumpang tindih relung, sehingga selanjutnya dapat diketahui pembagian ruangnya.
Ruang A merupakan ruang yang berada di sekitar permukiman masyarakat. Ruang B adalah ruang yang berupa semak atau hutan, yang menjadi habitat gajah, dan tempat terakhir gajah sebelum gajah masuk ke lahan masyarakat. Ruang C merupakan ruang yang berada di dekat sumber air dan permukiman masyarakat, dimana terjadi tumpang tindih relung yang berkaitan dengan kebutuhan manusia dan gajah akan air. Dan yang terakhir, ruang D adalah ruang yang berada di dekat sumber air dan semak atau hutan, tetapi juga masih dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian.
Jenis tanaman pertanian yang disukai Gajah Sumatera untuk dijadikan target serangan adalah kelapa sawit. Di sekitar TNBT, jenis tanaman pertanian yang dominan sampai saat ini adalah karet, yang merupakan kebutuhan pakan alternatif bagi gajah, dan kelapa sawit. Oleh karena itu, dibutuhkan jenis tanaman pertanian lain, yang juga bersifat ekonomis, akan tetapi tidak merupakan jenis tanaman yang disukai gajah, untuk dikombinasikan dengan kelapa sawit, dan karet.
Untuk disesuaikan dengan konsep berbagi ruang yang sebelumnya disampaikan, tanaman tersebut bisa ditanam di ruang C dan sedikit di ruang D, mengingat di ruang C dan D merupakan daerah yang diseleksi gajah untuk memenuhi kebutuhannya.
Mengingat juga nilai ekonomis kelapa sawit yang sangat tinggi, dan susah untuk menggantikannya di hati masyarakat, maka kelapa sawit juga masih bisa ditanam secara optimal hanya di ruang A. Hal tersebut dikarenakan ruang A merupakan ruang yang sebenarnya bukan daerah seleksi gajah untuk memenuhi kebutuhannya. Pemilihan jenis tanaman yang disesuaikan dengan ruang yang ada berguna untuk menentukan pengelolaan yang tepat pada masing-masing ruang.
Hal yang perlu diperhatikan berikutnya untuk upaya ini adalah penerapan metode penjagaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wieko menunjukkan penerapan metode penjagaan berupa pagar listrik merupakan metode penjagaan yang paling efektif mencegah gajah masuk ke lahan pertanian masyarakat.
Penerapan metode ini bisa dilaksanakan di perbatasan ruang A dan C yang berguna untuk melindungi ruang A dari gajah, karena selain terdapat permukiman, juga terdapat lahan pertanian masyarakat yang secara optimal bisa dimanfaatkan hanya di ruang tersebut.
Penerapan metode ini juga harus tetap memperhatikan keberadaan dan kebutuhan dari gajah agar permasalahan konflik antara gajah dengan manusia bisa diatasi secara efektif. Hal tersebut dapat diterapkan dengan menyediakan pakan bagi gajah di bagian luar dari pagar tersebut, yaitu di ruang D dan sedikit di ruang C.
Jika masyarakat secara paksa memanfaatkan ruang C sebagai lahan pertanian, kemungkinan untuk gajah masuk ke lahan pertaniannya menjadi meningkat karena daerah tersebut merupakan daerah yang diseleksi gajah untuk memenuhi kebutuhannya.
Walaupun konsep berbagi ruang ini belum bisa diterapkan ke semua daerah, mengingat kondisi geografis dari masing-masing daerah yang berbeda-beda, akan tetapi sistem ini memungkinkan pengoptimalan lahan bagi gajah dan masyarakat, dengan mempertimbangkan ketiga aspek yang sudah disampaikan sebelumnya.
Upaya ini diharapkan mampu membuat kedua belah pihak, baik masyarakat maupun populasi gajah akan tetap diuntungkan. Dari sisi populasi gajah, mereka akan tetap terpenuhi kebutuhannya walaupun tidak masuk ke lahan pertanian masyarakat. Dari sisi masyarakat, hasil dari lahan pertanian mereka bisa didapatkan secara optimal walaupun mereka harus mengorbankan sedikit dari luasan lahan, tenaga, dan waktunya untuk menerapkan sistem ini.
Untuk itu, penerapan sistem ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jenis tanaman yang cocok untuk dikombinasikan dengan kelapa sawit dan karet, dinamika perilaku dan pergerakan dari gajah yang nantinya digunakan untuk dasar pembagian ruang, pengembangan metode penjagaan lahan dengan tetap mempertimbangkan keberadaan gajah di sekitarnya, serta analisis ekonomi dari konsep berbagi ruang ini.