Lahirnya Perdirjen KSDAE P.6 tahun 2018 sebagai petunjuk tenis pelaksanaan kemitraan konservasi membuka peluang bagi terbukanya akses legal masyarakat untuk memanfaatkan kawasan konservasi. Pemberian akses tersebut membuka jawaban untuk situasi ketergantungan masyarakat terhadap kawasan konservasi yang selama ini banyak menjadi persoalan relasi sosial antara kawasan konservasi dan masyarakat di sekitarnya. Ketergantungan masyarakat sering diikuti oleh konflik sosial dengan berbagai bentuk dan eskalasinya. Mungkinkah kebijakan ini mampu menjadi salah satu upaya penyelesaian konflik di kawasan konservasi?
Pertanyaan tersebut coba dijawab dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kristiani Fajar Wianti bersama seluruh anggota Laboratorium Pengelolaan Kawasan Konservasi Fakultas Kehutanan UGM di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Hasil penelitian dipresentasikan dalam acara Reseach Update Fakultas Kehutanan UGM tahun 2019 dengan judul “Kemitraan konservasi & resolusi konflik : sebuah pemetaan implementatif”. TNGM dipilih dengan pertimbangan sebagai salah satu kawasan konservasi yang sarat konflik dari awal pembentukannya. Relasi masyarakat-kawasan menjadi fokus penting dalam pengelolaannya kemudian. Sampai saat ini atau lima belas tahun pasca alih fungsi, konflik lahan masih terjadi di dua desa yaitu Desa Ngablak dan Kemiren Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang. Terdapat 200 lebih kepala keluarga (KK) penggarap mengakses lahan tersebut.
Penelitian didesain untuk menggambarkan proses dari upaya penerapan kebijakan kemitraan konservasi di TNGM dalam bentuk pemberian akses kepada masyarakat. Mampukah kebijakan tersebut menjadi sebuah resolusi konflik? Penelitian diawali dengan mengidentifikasi profil masyarakat penggarap lahan konflik dan menjelaskan respon mereka terhadap kebijakan kemitraan konservasi yang ditawarkan sebagai solusi. Penelitian berusaha menjelaskan konteks konflik meliputi tinjauan historis, pihak-pihak yang berkonflik, pilihan solusi berupa skema kemitraan konservasi serta narasi kemitraan konservasi oleh masing-masing aktor utama konflik.
Penelitian berhasil mengindetifikasi 111 penggarap lahan konflik Desa Ngablak dan 62 penggarap di Desa Kemiren. Lahan konflik digunakan untuk budidaya salak yang merupakan komoditas unggulan Kabupaten Magelang dan penopang utama kehidupan masyarakat. Penggarap lahan konflik memiliki ketergantungan tinggi terhadap kawasan TNGM sehingga upaya penyelesaian konflik lahan di dalam kawasan TNGM tersebut haruslah sebuah solusi yang manusiawi dan realistis. Itu artinya mengedepankan prinsip-prinsip etis dalam kelola relasi masyarakat-kawasan serta tidak mengabaikan sendi-sendi kehidupan masyarakat (Robinson, 2011). Respon masyarakat terhadap kebijakan kemitraan konservasi yang ditawarkan sebagai solusi diidentifikasi melalui respon pendapat dan respon sikap. Penggarap tanah vonis Ngablak menyatakan keyakinan bahwa skema kemitraan konservasi memberi peluang solusi bagi persoalan konflik yang telah lama terjadi. Mereka meyakini bahwa skema tersebut akan memberikan manfaat dan membuka akses masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam dari dalam kawasan TNGM secara legal jika dibangun atas dasar pemahaman dan kepentingan bersama. Sementara itu penggarap tanah Kemiren masih belum membuka diri, ragu-ragu, dan belum sepenuhnya percaya pada skema yang ditawarkan tersebut. Kemitraan konservasi menemukan pintu masuk untuk resolusi konflik yang transformatif (Fisher, 2001) di Desa Ngablak, namun belum di Desa Kemiren.
Fakta ini menjadi temuan bahwa kemitraan konservasi dapat menjadi peluang bagi penyelesaian konflik pengelolaan lahan di kawasan konservasi meskipun belum mampu menjawab semua persoalan relasi sosial yang terjadi. Setidaknya, peluang perlu dimanfaatkan untuk mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi yang terbuka dan memberi kesempatan keterlibatan masyarakat yang konstruktif.
Penulis : Kristiani Fajar Wianti
Editor : Denni Susanto