Tahura Gunung Menumbing merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang terletak di Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tahura Gunung Menumbing memiliki luas kurang lebih 3.333,20 hektar. Tahura Gunung Menumbing ditetapkan oleh pemerintah pada 27 Juli 2016 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan SK.577/Menlhk/Setjen/PLA.2/7/2016. Pengelolaan Tahura Gunung Menumbing dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bangka Barat.
Di puncak Gunung Menumbing terdapat Pesanggrahan yang merupakan tempat pengasingan founding-fathers Republik Indonesia termasuk diantaranya Presiden dan Wakil Presiden pertama, Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta pada 2 Desember 1948 – 5 Juli 1949. Saat ini, bangunan Pesanggrahan tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM. 13/PW.007/MKP/2010. Selain wisata sejarah, di lokasi museum ini juga dapat melihat keindahan pemandangan Kecamatan Muntok beserta pantai yang ada di sekitarnya.
Salah satu satwa yang berada di Tahura Gunung Menumbing dan mengalami ancaman adalah mentilin atau yang lebih dikenal dengan tarsius bangka (Cephalopachus bancanus). Mentilin merupakan jenis satwa liar mamalia dari ordo primata dan termasuk famili Tarsiidae (IUCN, 2008). Mentilin merupakan satwa endemik Pulau Bangka Belitung dan telah ditetapkan sebagai satwa identitas Pulau Bangka Belitung berdasarkan Keputusan Mendagri No: 522.53-958/2010. Mentilin tergolong satwa yang rentan mengalami kepunahan (vulnerable) menurut IUCN Red List. Reproduksi Mentilin yang cenderung lambat serta sistem perkawinan yang berupa monogami, menjadi salah satu faktor mentilin rentan terhadap kepunahan. Ditambah lagi, adanya perambahan hutan yang dapat merusak habitat mentilin akan menyebabkan proses kepunahan mentilin terjadi lebih cepat.
Mentilin membutuhkan pohon untuk beraktivitas yaitu untuk berlindung, bersarang, dan tidur, serta membutuhkan serangga untuk pakan yang dapat ditemukan pada tutupan lahan bervegetasi. Hutan sekunder dengan kepadatan pohon yang tinggi dapat meningkatkan konektivitas hutan. Kondisi ini juga dapat meningkatkan ketersediaan habitat dan membantu memfasilitasi penyebaran mamalia kecil (Fuentes-Montemayor et al. 2020). Akan tetapi, apabila terjadi fragmentasi habitat, penyebaran mamalia kecil semakin sempit. Syafutra (2016) menjelaskan bahwa permasalahan pelestarian Mentilin di Pulau Bangka adalah perburuan liar, konversi hutan menjadi kebun sawit dalam skala besar, pembunuhan dengan sengaja karena adanya anggapan Mentilin sebagai satwa yang membawa bencana, serta konversi hutan menjadi lahan pertambangan timah. Permasalahan tersebut, khususnya konversi hutan menjadi pertambangan timah dan kebun sawit menjadi ancaman serius terhadap populasi Mentilin karena kawasan hutan dibuka menjadi area non-hutan, sedangkan untuk menghutankan kembali membutuhkan waktu yang relative panjang serta dana yang cukup besar.
Berdasarkan hasil penelitian tentang pemetaan tingkat keterancaman habitat mentilin menunjukkan bahwa tingkat keterancaman didominasi oleh tingkat keterancaman tinggi dan terdistribusi hampir di semua bagian kawasan. Oleh karena itu, diperlukan tindakan – tindakan khusus dalam pengelolaan kawasan tahura ini misalnya melakukan penanaman jenis vegetasi yang cocok dan memiliki kemampuan regenerasi yang bagus di lahan bekas tambang. Lokasi pada jaringan sungai perlu dilakukan patroli secara berkala karena sungai merupakan faktor yang memiliki pengaruh besar dalam penambangan liar. Kondisi sungai yang telah rusak dan tersedimentasi berat perlu dipulihkan kembali untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat Kecamatan Muntok serta kebutuhan air satwa – satwa lainnya di Tahura Gunung Menumbing.
Tindakan konservasi dan pengelolaan hutan tentunya tidak hanya dilakukan oleh pihak pengelola saja, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bangka Barat. Pengelolaan habitat juga membutuhkan partisipasi dari masyarakat agar mereka merasa memiliki dan sadar terhadap keberadaan sumberdaya di sekitarnya yang perlu dilindungi. Selain itu, dibutuhkan pula kolaborasi antar instansi terkait seperti Dinas Pariwisata Kabupaten Bangka Barat yang mengelola Pesanggrahan Menumbing, Satuan Polisi Pamong Praja sebagai instansi penegakan hukum, serta lembaga swadaya masyarakat seperti Forum Peduli Menumbing, Animal Love Bangka Island Foundation, dan Laskar Hijau yang bergerak dalam pelestarian lingkungan dan satwa. Kolaborasi yang baik pihak – pihak ini dapat meningkatkan dan menggerakkan pengawasan kawasan menjadi lebih ketat sehingga oknum – oknum perambah sulit untuk bergerak dan memasuki kawasan Tahura Gunung Menumbing.
Penulis : Norlaili Isnaini
Editor : Denni Susanto