Kawasan Konservasi Privat

Konservasi lahir akibat adanya semacam kebutuhan untuk melestarikan sumber daya alam yang diketahui mengalami degradasi mutu secara signifikan. Dampak degradasi tersebut, menimbulkan kekhawatiran dan kalau tidak diantisipasi akan membahayakan umat manusia, terutama berimbas pada kehidupan generasi mendatang. Sudah dalam beberapa dekade, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan tidak berpihak kepada masyarakat tetapi hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu (Dunggio & Gunawan, 2009). Padahal sebagai negara yang kaya akan sumber daya hutan, Indonesia sejak berabad-abad lampau sudah berinteraksi secara kuat dengan hutan, sehingga antara hutan dan manusia sudah menjadi satu kesatuan (adherent). Banyak kebutuhan manusia yang dapat dipenuhi dari dalam hutan, seperti sandang, pangan, obat-obatan, dan jasa lingkungan.

Pada beberapa tahun terakhir, semakin diakui bahwa konservasi dan pengembangan sumber daya alam berkelanjutan di seluruh dunia terkait erat dengan pelaksanaan kegiatan konservasi di lahan privat/pribadi (Carter, Adams, & Hutton, 2008), atau disebut private conservation area (PCA) atau kawasan konservasi privat yang dibuat oleh praktisi swasta. Hal ini adalah akibat dari tinjauan mengenai kawasan lindung yang saat ini sudah ada tidak akan cukup untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Secara garis besar, kawasan konservasi privat memberikan berbagai manfaat bagi masyarakat. Misalnya, jumlah kawasan konservasi privat dalam melindungi beberapa juta hektar habitat alami di seluruh dunia (Rambaldi, Fernandes, & Schmidt, 2005). Private area juga dapat berkontribusi untuk tujuan kesejahteraan sosial, misalnya melalui pembentukan lapangan kerja dimana lahan dikelola untuk ekowisata dan usaha menguntungkan lainnya (Sims-Castley, Kerley, Geach, & Langholz, 2005).

Banyak negara telah menghasilkan inisiatif untuk mendorong konservasi keanekaragaman hayati oleh pemilik lahan privat/pribadi, seperti Afrika Selatan (Maciejewski, Baum, & Cumming, 2016), Australia (Iftekhar, Tisdell, & Gilfedder, 2014), Brazil (Crouzeilles, Vale, Cerqueira, & Grelle, 2013), Chili (Holmes, 2014), dan United States (Owley & Rissman, 2016). Namun faktanya kawasan konservasi privat masih tampak sebagai “lanskap yang terabaikan”. Begitu pula di Indonesia belum ada satu-pun kawasan konservasi privat. Hal ini memang cukup berat dilakukan di Indonesia yang notabene masih dalam keadaan berkembang, namun disisi lain kerusakan sumber daya alam tidak bisa dicegah dan bahkan akan bertambah tiap waktunya. Di Asia, negara yang tercatat sudah ada penerapan kawasan konservasi privat yaitu Cina, Jepang, dan Korea Selatan (Stolton et al., 2014).

 Permasalahan yang diselesaikan dari adanya kawasan konservasi privat

Kawasan konservasi privat akan menjadi komponen penting dalam mencapai Convention on Biological Diversity (CBD), beberapa hal permasalahan yang bisa diselesaikan didasarkan pada Aichi Biodiversity Targets, antara lain:

  • Target 5: Pada tahun 2020, tingkat kehilangan semua habitat alami, termasuk hutan, setidaknya dapat ditekan setengah dari luasan yang ada dan jika memungkinkan mendekati nol, serta degradasi dan fragmentasi berkurang secara signifikan.
  • Target 11: Pada tahun 2020, setidaknya 17 persen dari wilayah daratan dan perairan serta 10 persen wilayah pesisir dan laut, terutama kawasan yang sangat penting bagi keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem, dilestarikan melalui pengelolaan yang efektif dan adil, perwakilan ekologis dan sistem yang terkoneksi dengan baik dari kawasan yang dilindungi serta tindakan konservasi berbasis kawasan lainnya yang efektif, diintegrasikan ke dalam landscape dan seascape yang lebih luas.
  • Target 13: Pada tahun 2020, keragaman genetik tanaman yang dibudidayakan dan hewan yang dibudidayakan dan dibudidayakan dan dari kerabat liar, termasuk spesies sosio-ekonomi dan budaya lainnya yang berharga dipertahankan dan strategi telah dikembangkan dan diimplementasikan untuk meminimalkan erosi genetik dan menjaga perbedaan genetik.

Kendala dan solusi menghadapinya

Cakupan Kendala
Indonesia Belum ada peraturan yang dibuat untuk mendukung adanya kawasan konservasi privat, sehingga penerapannya tidak akan mempunyai kejelasan secara hukum. Pemerintah harus bisa segera menangkap rencana global agar tidak mengalami kemunduran konservasi. Indonesia dengan keragaman hayati yang tinggi harus mampu menaruh kebijakan konservasi sumber daya alam untuk kehidupan masa depan.
Global 1)      Belum ada bukti mengenai efektifnya kawasan konservasi privat dalam memenuhi tujuan konservasi dan sosial secara bersamaan (Carter et al., 2008).

2)      Adanya dugaan konsekuensi dan potensi politik untuk keberlanjutan kawasan konservasi privat (Carter et al., 2008).

Kawasan konservasi privat merupakan salah satu bentuk inovasi untuk mengakomodir kepentingan konservasi sumber daya alam. Peraturan yang jelas dan tidak rumit perlu dibangun untuk mendukung inovasi ini. Langkah-langkah yang perlu dibangun untuk meminimalkan kendala kawasan konservasi privat adalah sebagai berikut :

  • Kategorisasi private protected area yang efektif perlu mempertimbangkan dua dimensi, yaitu sifat pemilik lahan (individu, perusahaan bisnis, organisasi masyarakat) dan sifat dari organisasi manajemen (perusahaan swasta, perusahaan, perorangan, kelompok komunitas atau perusahaan bersama / organisasi komunitas (Carter et al., 2008)
  • Mengembangkan dan mengimplementasikan sistem pemantauan dan manajemen efektivitas untuk private protected area. Keberhasilan jangka panjang private protected area tergantung pada kemampuan pemilik untuk menunjukkan efektivitas konservasi. Organisasi konservasi dan badan-badan yang dilindungi pemerintah perlu bekerja sama dengan pemilik/manajer private protected area dalam mengembangkan sistem pemantauan dan efektivitas manajemen yang dapat diintegrasikan dengan sistem yang ada (Stolton et al., 2014).
  • Memahami insentif apa yang diperlukan untuk mendukung dan mempromosikan private protected area: LSM dan Lembaga riset harus didorong untuk melakukan penelitian untuk memahami hubungan antara berbagai insentif dan 1) mengapa pemilik mendirikan private protected area; 2) mengapa mempertahankan adanya private protected area, dan 3) bagaimana memastikan tujuan konservasi ketika kepemilikan berubah. Dari perspektif ekonomi, semua insentif berpotensi mendistorsi pasar, sehingga dampak positif dan negatif mereka juga perlu dipelajari secara cermat (Stolton et al., 2014).

 Jadi kawasan konservasi privat itu penting. Privately Protected Area (PPA; atau bisa juga Private Conservation Area (PCA)) memiliki peran penting untuk dimainkan ketika respon cepat diperlukan pada perubahan cepat dalam penggunaan lahan atau air, atau di mana kawasan lindung yang dikelola negara ditentang karena alasan politik atau ekonomi. Kawasan konservasi privat dapat efektif dalam memperluas perlindungan ke wilayah yang kurang terwakili atau dimana sebagian besar lahan berada di tangan swasta. Sekaligus, memberikan peluang untuk melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan dalam konservasi dan menggunakan mekanisme pendanaan yang inovatif (Stolton et al., 2014). Kekuasaan konservasi yang dikelola secara privat bisa dikatakan penting karena memberi isyarat kesediaan yang baik untuk mengambil tindakan konservasi di pihak sektor swasta dan bisa juga menjadi sebuah pengakuan dari pemerintah bahwa tidak dapat dan tidak boleh mencoba untuk mencapai tujuan konservasi tanpa bantuan masyarakat yang lebih besar.

Kawasan konservasi privat bukan merupakan pengganti untuk kawasan lindung pemerintah, kawasan lindung yang dikelola bersama atau kawasan lindung masyarakat dan adat, tetapi pelengkap bagi mereka. Dengan adanya inisiatif berarti ada perhatian dan kestabilan oleh masyarakat luas kepada pemerintah yang diinvestasikan dalam upaya untuk memastikan hasil konservasi. Upaya konservasi secara privat layak untuk diakui sepenuhnya, lebih baik terintegrasi dalam kebijakan konservasi nasional dan regional, Secara global, kawasan konservasi privat berada pada tahap kritis (tersaingi) dengan gerakan sosial global kreatif lainnya yang berkembang di sekitar bentuk perlindungan in-situ ini. Jika tren mengenai kawasan konservasi privat bisa dipertahankan, artinya mampu mengikat community secara berkelanjutan, kawasan yang dilindungi secara privat akan menjadi semakin umum dan akan meningkat untuk memainkan peran mereka sebagai kontributor penting untuk mencapai tujuan konservasi individu dalam skala lokal, nasional dan global.

 

Daftar Pustaka

Carter, E., Adams, W. M., & Hutton, J. (2008). Private protected areas: Management regimes, tenure arrangements and protected area categorization in East Africa. Oryx, 42(2), 177–186. https://doi.org/10.1017/S0030605308007655

Crouzeilles, R., Vale, M. M., Cerqueira, R., & Grelle, C. E. V. (2013). Increasing strict protection through protected areas on Brazilian private lands. Environmental Conservation, 40(3), 209–210. https://doi.org/10.1017/S0376892912000367

Dunggio, I., & Gunawan, H. (2009). Telaah sejarah kebijakan pengelolaan taman nasional. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(Nomor 1), 43–56.

Holmes, G. (2014). What is a land grab? Exploring green grabs, conservation, and private protected areas in southern Chile. Journal of Peasant Studies, 41(4), 547–567. https://doi.org/10.1080/03066150.2014.919266

Iftekhar, M. S., Tisdell, J. G., & Gilfedder, L. (2014). Private lands for biodiversity conservation: Review of conservation covenanting programs in Tasmania, Australia. Biological Conservation, 169, 176–184. https://doi.org/10.1016/j.biocon.2013.10.013

Maciejewski, K., Baum, J., & Cumming, G. S. (2016). Integration of private land conservation areas in a network of statutory protected areas: Implications for sustainability. Biological Conservation, 200, 200–206. https://doi.org/10.1016/j.biocon.2016.05.027

Owley, J., & Rissman, A. R. (2016). Trends in private land conservation: Increasing complexity, shifting conservation purposes and allowable private land uses. Land Use Policy, 51, 76–84. https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2015.10.026

Rambaldi, D. M., Fernandes, R. V., & Schmidt, M. A. R. (2005). Private protected areas and their key role in the conservations of the Atlantic Forest biodiversity hotspot, Brazil. Private Protected Areas Programme: Parks Magazine, 15(2), 30–38.

Sims-Castley, R., Kerley, G. I. H., Geach, B., & Langholz, J. (2005). Socio-economic significance of ecotourism-based private game reserves in South Africa’s Eastern Cape Province. In Parks (Vol. 15).

Stolton, S., Redford, K. H., Dudley, N., Bill, W., Corcuera, E., & Mitchell, B. A. (2014). The futures of privately protected areas. Protected Area Technical Report Series No.1 International Union For Consevation Nature (IUCN), (1), 128.

 

Penulis         : Dennis Albihad

Editor           : Denni Susanto

Leave a Reply

Your email address will not be published.